Ina Zainah
Nasution, S.Sos.I
A.
Sekelumit Kisah Tentang Ibu Hajar
Nabi Ibrahim mendapat perintah untuk membawa
keluarganya jauh dari Yerussalem. Berangkatlah Ibrahim dengan Siti Hajar dan si
kecil Ismail yang masih dalam gendongan menyusuri padang pasir yang tandus di
tengah terik matahari yang membakar gurun. Hingga sampailah mereka pada satu
tempat yang tandus dan kering dikelilingi bukit-bukit terjal dan gersang tanpa
tempat berteduh. Kiranya disini pulalah Nabi Ibrahim mendapat perintah untuk
meninggalkan Ismail yang masih kecil beserta ibundanya yang sedari tadi
berjalan terseok-seok mengikuti langkah-langkah suaminya. Sebenarnya ia tidak
menyangka bahwa di tempat yang sesunyi dan setandus inilah ia akan ditinggalkan
sang suami. Tapi karena keyakinannya akan Allah dan Rasul-Nya diiringi
keta’atan secara menyeluruh terhadap apa yang diyakininya disertai keridhaan
untuk menerima segala konsekuensi hidup dari yang memberi kehidupan kepadanya.
Ia yakin selagi Allah masih ada , ia tak akan pernah lupa dan lalai terhadap
hamba-hamba-Nya yang menyeru kepada-Nya. Oleh karena itu keputusan Nabi Ibrahim
suaminya untuk meninggalkan ia dan si buah hati Ismail di tengah belantara
gurun yang gersang diterimanya dengan hati ikhlas dan tawakkal diiringi rasa
optimis yang besar sebab ia yakin Allah tidak akan pernah menelantarkan
hamba-Nya.
B.
Keyakinan Akan Adanya Allah
Mungkinkah Allah itu sesuatu yang tidak ada padahal
bumi sudah terbentang dan langit menggantung di cakrawala? Laut yang diisi
dengan berjenis-jenis ikan, bintang-bintang menghias malam, mungkinkah alam
yang indah ini tidak berpencipta? Jawabnya adalah mustahil! Sejak zaman Plato
sampai Robert Einsten menemukan atom, dari zaman Yunani kuno hingga sekarang,
semua percaya bahwa Tuhan adalah sesuatu yang mutlak ADA! Secara akal dan
logika saja kita meyakini bahwa alam tidak mungkin terjadi dengan sendirinya,
pastilah ada pencipta alam dengan segenap isinya, Dialah Allah Tuhan penguasa
jagad raya. Dalam ilmu Tauhid ini disebut Wajibul
Wujud, yaitu yang Wujudnya mesti Ada dan tak masuk pada akal tidak adanya,
baik dimasa lampau, dimasa kini, dan masa-masa yang akan datang (Nasaruddin
Latif, t.th: 9). Ia selamanya Ada, berarti Ia tidak pernah Tidak Ada dan hanya
Dialah yang bersifat dengan wajibul wujud
tersebut.
Sebenarnya tidak hanya akan manusia yang menyatakan
ke-wajib-Adaan Tuhan, tetapi juga nurani dan fitrah setiap insan merasa
terpanggil untuk mengakui Adanya kekuatan dan kekuasaan di luar dirinya; itulah
keberadaan Allah.
Maka, percaya akan adanya Allah dalam ilmu tauhid
artinya meyakini dengan keyakinan yang teguh bahwa Allah itu ADA, Adanya tidak
didahului oleh sesuatu, tidak berawal, tidak menyerupai satu makhluk pun di
bumi, Ia berkehendak dan berkemauan, memiliki ilmu dan berkata-kata, dan Ia
juga hidup dan berdiri sendiri (Adnan, 1993). Manakala kita meyakini adanya
Allah dengan sepenuh hati maka wajarlah bagi kita untuk mengagungkan Allah
dalam segala posisi kehidupan.
C.
Allah sebagai Prima Kausa Kehidupan
Sebab Allahlah maka segala sesuatu di alam ini menjadi
ada (terwujud). Saat Ia menjadikan matahari dan bulan, malam dan siang pun
datang, kehidupan pun mulai beredar. Ketika Ia menciptakan air maka muncullah
kehidupan di samudera lepas lengkap dengan makhluk-makhluknya. Begitu juga saat
ruh ditiupkan, dimulailah kehidupan insan di alam lengkap dengan segala
fasilitas dan permasalahannya. Karena itulah Allah disebut sebagai “Penyebab
Tunggal” (Prima Kausa) segala bentuk dan liku-liku kehidupan di alam; segala
sesuatu akan terjadi karena-Nya dan sebab izin-Nya. Maka seorang mukmin yang
meyakini adanya Allah adalah juga mukmin yang percaya bahwa segala sesuatu yang
telah dan akan terjadi akan berjalan dan berlaku sesuai dengan kuasa dan
izin-Nya dan tidak akan terjadi apa-apa yang tidak dikehendaki-Nya.
D.
Jiwa Optimis yang Dilandasi oleh Keyakinan Akan Adanya
Allah
Keimanan yang benar menimbulkan kekuatan yang menjadi
fondasi bagi “inner security and
confidence” dalam diri insan yang beriman. Karenanya seorang mukmin yang
memiliki keimanan akan adanya Allah secara benar akan memiliki kekuatan rohani
dan kepercayaan yang teguh, serta “pegangan” yang tentu-tentu dalam hidup atau
kehidupannya (Nasaruddin Latif, t.th: 14-15).
Hasan Basry menuliskan diantara beberapa pengaruh
tauhid bagi kehidupan seseorang bahwa tauhid adalah sumber kekuatan jiwa dimana
seorang mukmin yang bertauhid akan percaya diri dan bertawakkal kepada-Nya
(1989 : 50). Abul ‘Ala Al Maududi dalam bukunya “Dasar-dasar Aqidah Islam” yang dikutip Hasan Basry menyatakan bahwa
orang yang mempunyai kepercayaan tauhid tidak menjadi murung dan patah hati
dalam segala kondisi (1989 : 53). Ia yakin bahwa keberadaan Allah memiliki
rahmat yang tidak terbatas dan kekuasaan yang tidak terhingga. Kepercayaan
inilah yang menjadi hiburan dalam diri dan memberikan pengharapan dalam
menghadapi berbagai rintangan hidup. Hasan Basry juga menambahkan bahwa hikmah
tauhid adalah mewujudkan mujahadah
(optimis) dan kesungguhan pada pribadi mukmin (1989 : 57). Kholdun Ibrahim
Salamah menyimpulkan bahwa iman akan memberi bekas pada tingkah laku
diantaranya cita-cita hidup, oleh sebab itu seorang mukmin tidak mengenal putus
asa (1999 : 50). Analoginya mungkin dapat kita setarakan sebagai berikut: bila
kita dekat dengan pak camat, haruskah kita takut dengan kepala desa? Jika kita
berteman dengan kapolsek, kenapa harus takut dengan polisi dan bila kita dekat
dengan Yang Memiliki Kehidupan, kenapa harus takut pada hidup!. Ibu Hajar telah
membuktikannya.
REFERENSI
Basry, Hasan. Tegakkan Tauhid Tumbangkan Syirik.
Solo: Ramadhani, 1989.
Latif, H.S.M. Nasaruddin. Mengapa Kita Wajib Beragama.
Bandung: Angkasa, t.th.
Lubis, H. Adnan. Bahan Pelajaran Ilmu Tauhid I. R.
Prapat: Pesantren At-Thoyyibah Indonesia, 1990.
Salamah, Kholdun Ibrahim. Materi
Kuliah Tsaqofah Islamiyah. Jakarta: Universitas Ibnu S’ud, 1999.
Categories:
religi